Mengapa kita menjadi orang tua? Apakah karena pilihan dengan berbagai persiapan matang untuk mendidik anak sebaik-baiknya, atau “sekadar” konsekuensi logis dari siklus nikah dan beranak saja?
Banyak training dan bimbingan mencari jodoh atau pra-nikah. Namun, jarang sekali bimbingan untuk menjadi orang tua yang baik, bagaimana menghadapi dan mensikapi kehamilan, merawat dan mendidik anak dalam sekian umur dan tahapan serta begitu banyak sisik-melik lainnya seputar tanggungjawab orangtua kepada anak.
Tak seperti gelas akademis, status sebagai “orang tua” otomatis didapat setelah mempunyai anak, bukan prestasi yang di raih setelah melewati ujian tertentu. Akibatnya, anak-anak menjadi “korban percobaan” bagi pasutri yang telah mendapat gelar sebagai “orang tua”.
Kesalahan dan kekeliruan pun seringkali terjadi tanpa evaluasi dan pengkritisan, dengan anak terutama si sulung sebagai korban.
Terlebih, tradisi kita hanya mengenal “durhaka anak kepada orang tua”. Sementara “kedurhakaan” orang tua terhadap anak seringkali dianggap wajar. Padahal, layaknya sebuah ensiklopedi, begitu banyak kekurangan kesalahan yang kita lakukan terhadap anak.